Virus IP (Impasse Politika) dan COVID-19 Virus Penyiksa Masyarakat Proletar

Elidio Agusto Guterres Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

(Sebuah Catatan Lepas atas Realita Politik dan Covid-19 di Timor Leste)

Elidio Agusto Guterres Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Elidio Agusto Guterres Alumni
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta

“Aku cinta Negaraku. Puber usianya. Baru 18 tahun dia hadir di bumi ini. Aku cinta Negaraku. Sungguh aku cinta. Namun sedih hatiku. Di usia mudanya virus IP (impasse politika) dan Covid-19 menyerang tubuhnya. Pergilah. Tangis Negaraku. Derita masyarakatku.”

Aku cinta Negaraku. Pergilah!! Tangis Negaraku. Derita masyarakatku adalah sebuah puisi yang cocok untuk dilantunkan saat ini di tengah tersebarnya Virus IP (Impasse Politika) atau dapat disebut kebuntuhan politik dan Covid-19 atau yang biasanya disebut coronavirus disease di bumi Timor Leste, di usia kemerdekaanya yang masih muda.

Sejak kemerdekaannya yang sah pada 20 Mei 2002, begitu banyak problema yang telah dilaluinya dan telah menjadi bagian dalam sejarah perkembangannya di era post-modern ini. Masih teringat dengan jelas pada awal tahun 2018, persis bulan masuknya Covid-19 saat ini, tepatnya bulan Maret, para pemimpin bangsa ini berkampanye dari kota ke kota, dari desa ke desa, di seluruh belahan bumi Timor Leste. Kampanye ini untuk menyongsong pemilihan ulang atau eleisaun antisipada untuk memilih Perdana Mentri yang baru, setelah jatuhnya pemerintahan yang dipimpin oleh Mari Alkateri (pemimpin partai Fretelin).

Jika ditelusuri lebih jauh, virus IP (Impasse Politika) mulai terbentuk atau tercipta saat kampanye eleisaun antisipada. Hal ini terlihat melalui pertengkaran opini bahkan ideology dengan mengungkit rahasia sejarah masa lalu yang penuh “misteri” antar para pemimpin partai. Kampanye seolah dijadikan sebagai panggung atau momentum untuk menceritakan kebenaran sejarah dan ajang untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Semua berkata mereka adalah pejuang bangsa, terlihat tidak ada pengakuan antar para pemimpin partai atau bahkan para pendiri bangsa ini. Realitas yang dapat disaksikan saat itu adalah “siapa mau dengar siapa. Siapa mau takut siapa. Semua berkata berjuang dan berjasa untuk bumi ini.”

Kampanye dan pemilihan ulang atau eleisaun antisipada berhasil dilaksanakan dan pemilihan itu dimenangkan oleh partai koalisi (CNRT, KHUNTO dan PLP) dengan sebutan AMP (Aliansa Mudansa ba Progreso-koalisi menuju perubahan dan perkembangan), yang dipimpin oleh Avo Nana, Avo Taur Matan Ruak yang kini menjadi Perdana Mentri dan Tiu Naimori. Pada saat yang sama pemerintahan yang baru pun mulai didirikan. Pemerintahan itu terlihat kokoh. Memberi keyakinan pada masyarakat bahwa tidak akan tercipta virus kelumpuhan politik.  Namun dalam perjalanannya, pemerintahan yang dipercayakan itu hanya terlihat kokoh dalam rupa namun rapuh dalam jiwa karena permainan politik dibalik panggung politik terus berjalan.

Terlihatnya Virus IP (Impasse Politika)

Virus IP (Impasse Politika) atau kebuntuhan politik yang tercipta perlahan pada kampanye, kini memunculkan dirinya pada permukaan dan mulai menyebar ketika Sembilan (9) pejabat Negara atau Menteri tidak dilantik (tomada depose) oleh Presiden Republika Demikratica de Timor Leste (RDTL), Fransisco Guterres Lu Olo, dengan alasan karena adanya kecacatan hukum pada kesembilan pejabat itu. Namun hal itu sangat disayangkan karena hanya sebatas perkataan tanpa bukti dari Presiden. Inilah awal terbentuknya virus IP secara utuh dan terlihat pada publik. Benar kata Bapa Novel Perdamaian, Jose Ramos Horta, dalam acara Grande Intervista di GMN TV, “Impasse Politika hahu iha Ai-tarak laran” (Impasse Politika/kebuntuhan politik bermula dari Ai-tarak Laran), tempat bertatahnya kantor kepresidenan Timor Leste. Pertanyaan yang perluh kita lontarkan adalah, mengapa hal itu terjadi? Jawabannya adalah, karena kepentingan politik particular dan tentuh kepentingan individual. Pada titik inilah dapat kita tafsirkan bahwa virus IP (impasse Politika) yang tercipta perlahan pada masa kampanye, diperlihatkan oleh Presiden dengan keputusannya tidak melantikkan sembilan pejabat Negara. Prinsip ini dipertahankan Presiden demi mentaati UU. Jika demikian prinsip itu perlu diuji. Presiden harus menunjukkan bukti kecacatan hukum dari ke-9 pejabat itu dan sidangkan mereka. Namun amat disayangkan bukti itu tidak ada. Presiden hanya menambah virus impasse politika.  

Tidak lantiknya Sembilan (9) pejabat mempunyai dampak yang sangat krusial dalam pertumbukan dan perkembangan system pemerintahan dan pertumbuhan perekonomian di Timor Leste. Begitu banyak program pemerintahan yang dijanjikan saat kampanye tidak terpenuhi, baik dalam pambangunan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Semua program termakan habis oleh Virus IP (Impasse Politika).

 Hari demi hari virus IP semakin meluas. Kesejahteraan masyarakat semakin menjauh dari pemiliknya yaitu masyarakat itu sendiri. Percaturan politik terus dimainkan oleh para politikus dan para pejabat negara. Tidak berhenti dan puas pada tidak lantiknya sembilan pejabat Negara, para politikus terus menambah jumlah virus IP dengan tidak meloloskan APBN 2020, pada sidang anggota parlemen yang mereka sebut “Sumba Orsamentu.” Ketika permainan APBN tidak diloloskan dan presiden tetat pada pendiriannya tidak memberi lantik kepada sembilan pejabat, tanda virus IP (impasse politika) semakin bertambah. Penderitaan masyarakat semakin meningkat. Kurangnya lapangan kerja. Pengangguran bertambah, dan yang menjadi korban adalah masyarakat kelas bawah atau proletar. Virus IP akhirnya bukan hanya sekedar virus biasa seperti “virus flu dan batuk” dalam dunia politik, melainkan sebagai pandemic yang menyengsarakan dan merongrong kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan proletar khususnya. Sadar atau tidak virus akan terus menyebar dan menyebar, hingga pada titik para pencipta virus IP (para pejabat negara/politikus) sadar bahwa tujuan politik sejatinya adalah untuk kesejahteraan umum/bonum commune.

Datangnya Covid-19 Menambah Derita

                Virus IP (Impasse Politika) atau virus kebuntuhan politik belum berakhir menyiksa dan menyengsarakan masyarakat yang lemah, miskin dan terpinggirkan atau kaum proletar, selama 2,5 tahun akibat “inkapasidase” (kurangnya intelektualitas) politikus yang mengedepankan kepentingan particular dan individual. Kini datang lagi Covid-19 raja pembunuh tak berfisik. Covib-19 atau coronavirus disease yang awalnya muncul di China tepatnya di Propinsi Wuhan kini menjadi musuh dunia karena mampu menyiksa dan merongrong tubuh setiap insan. Pada situasi yang demikian, suatu kegagalan diciptakan oleh pemerintahan Timor Leste yang sedang mengidap virus IP (impasse politika) atau virus kebuntuhan politik. Kegagalan itu adalah, menganggap remeh Covid-19 yang mengincar negaranya walaupun banyak negara raksasa telah kehilangan ribuan bahkan jutaaan masyarakatnya, dan tidak adanya persiapan dan keseriusan dalam menangani tertularnya covid-19 di negaranya.

            Tanpa suatu pertimbangan yang matang, pemerintah mengumumkan untuk lockdown atau yang disebut sebagai “estado emergencia” kurang lebih satu bulan. Masyarakat dilarang untuk melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Semua dianjurkan untuk berada di rumah alias stay home. Semua kantor dan sekolah ditutup. Aktivitas belajar mengajar dianjurkan untuk online walaupun belum ada persiapan yang matang bahkan pelajar dan mahasiswa sendiri tidak tahu bagaimana cara belajar online. Jangankan siswa, para guru dan dosen pun kebingungan untuk melakukan dan menjalankannya seperti apa dan bagaimana. Akhirnya belajar mengajar online menghadirkan nada kekagetan , “oh line.”

Belajar dan mengajar online tentuhnya menggunakan alat elektronik seperti Hp android dan laptop, dan pastinya membutuhkan akses internet (wifi maupun pulsa data). Yang amat disayangkan adalah banyak siswa atau pelajar yang tinggal di wilayah atau daerah yang tidak dapat mengakses jaringan, dan ada yang tidak mempunyai hp android. Apa yang pemerintah lakukan? Apakah hanya mengandalkan program “eskolah ba uma” (sekolah di rumah) melalui siaran televisi? Tidak cukup. Realita mengatakan banyak masyarakat yang tidak mempunyai TV dan tidak mengakses listrik. Siapa yang menderita? Yang pasti masyarakat yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Mereka yang berkuasa, mereka yang kaya, yang mempunyai fasilitas lengkap dapat mengakses dan melaksanakan semua acara atau program yang diberikan atau dikeluarkan oleh pemerintah selama “estado emergencia.”

            Bukan hanya dalam hal pendidikan. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Sulit untuk mendapatkan uang dan tidak tahu bagaimana cara mencarinya. Semua ruang gerak dibatasi. Berusaha untuk mencari dengan cara melanggar aturan “estado emergensia,” namun hukuman dan sanksi dari aparat negara menanti di gerbang rumah. Akhirnya masyarakat pasrah, menantikan uluran tangan dari mereka yang empunya harta dan kekuasaan. Singkat kata, covid-19 merusak semua sistem kerja pemerintah dan menambah derita masyarakat proletar yang tidak mempunyai apa-apa untuk bertahan hidup selama “estado emergencia.”

Akhir Kata

Melihat semua realita yang ada sejak hadirnya virus IP (impasse politika) yang diciptakan oleh para pemimpin bangsa dan para politikus hingga hadirnya Covid-19, yang menderita dan semakin menderita adalah masyarakat proletar, yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Mereka menjadi korban setiap saat. Penderitaan mereka selama masa impasse politika yang belum berakhir, dilanjutkan dengan hadirnya covid-19 yang membawa super penderitaan akibat “estado emergencia.” Kita tidak dapat berkata banyak jika pemerintah masih tulih dan buta untuk mendengar dan melihat penderitaan ini. Mereka adalah obat penyembuh virus IP dan penyangkal Covid-19.

            Akhirnya kita hanya mampu berkata, Virus IP dan Covid-19 adalah virus yang menyengsarakan kami yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Kami tidak mempunyai apa-apa untuk bertahan. Antibody kami telah dikuras habis oleh virus IP (impasse politika) selama 2,5 tahun. Covid-19 datang menambah dan melanjutkan derita kami dengan membunuh perlahan. Yang berkuasa dan mempunyai segala sesuatu tentu dan pasti mampu bertahan. Kami yang lemah, miskin dan terpinggirkan selalu jatuh. Jatuh. “Lalu jatuh lagi dan tertimpah tangga.”

Mari kita mengangkat sesama yang kecil menjadi sama dengan kita dan bersama  melawan Virus IP dan Covid-19.

Elidio Agusto Guterres
Email:
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Fb: Elidio Agusto Guterres

Online Counter