Di tengah kekayaan budaya Timor-Leste, ada sebuah kebiasaan penting yang punya makna spiritual dan bisa memperkuat hubungan keluarga, yaitu upacara Lutu Metan dan Kore Metan. Sebagai negara yang penuh dengan beragam tradisi dan budaya dari berbagai suku, Timor-Leste memiliki warisan budaya yang bernilai tinggi dan perlu terus dipelajari, apalagi di tengah perkembangan zaman dan pengaruh global yang semakin cepat.
Secara tradisional, Lutu Metan merujuk pada fase berkabung yang dijalani oleh keluarga ketika ditinggal oleh anggota yang meninggal dunia. Di dalam bahasa Tetun, kata metan yang memiliki arti 'hitam' merepresentasikan kesedihan yang mendalam sekaligus menjadi lambang penghargaan terhadap arwah yang telah berpulang.
Upacara ini memiliki keterkaitan erat dengan Kore Metan, yang secara harfiah berarti “mengusir kegelapan”. Ritual ini menjadi tanda berakhirnya masa berkabung dan umumnya dilakukan setahun setelah seseorang yang telah meninggal. Masyarakat Timor-Leste meyakini bahwa jiwa almarhum belum dapat berpindah ke alam lain hingga kerabat yang masih hidup melaksanakan ritual tertentu.
Dilihat dari aspek filosofis, Lutu Metan dan Kore Metan merepresentasikan pandangan hidup masyarakat setempat tentang kesinambungan hidup dan kematian. Upacara-upacara ini tidak hanya menunjukkan rasa duka, tapi juga sebagai tanda cinta yang tulus untuk orang yang sudah meninggal. Gagasan ini menunjukkan bahwa kasih tidak berakhir pada kematian jasmani, melainkan tetap hadir melalui bentuk penghormatan seperti upacara ritual.
Dimensi spiritual dalam kebiasaan ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Timor-Leste, meninggalnya seseorang bukan dianggap sebagai penutup kehidupan, melainkan sebagai perjalanan menuju alam lain. Kepercayaan bahwa arwah harus "dilepaskan" melalui ritus mencerminkan sebuah konsep spiritual yang khas dan berbeda dari pemikiran Barat mengenai kematian.
Yang menarik perhatian, upacara adat ini mampu berjalan harmonis dengan doktrin Kristiani yang dipeluk oleh mayoritas warga Timor-Leste. Kondisi ini menunjukkan fleksibilitas kebudayaan setempat dalam mengadopsi prinsip-prinsip universal, tanpa mengabaikan fondasi tradisinya. Penekanan terhadap kasih sayang dan penghargaan kepada yang telah berpulang sangat selaras dengan ajaran cinta kasih dalam agama Kristen.
Dari perspektif sosiologi, upacara Lutu Metan berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan keselarasan dalam lingkungan keluarga dan komunitas secara kolektif. Waktu berkabung selama satu tahun memberi kesempatan bagi keluarga untuk menghadapi rasa sedih dan memahami arti kepergian orang yang dicintai. Kebiasaan ini senada dengan teori psikologi kontemporer yang menekankan pentingnya tahapan berduka dalam penyembuhan emosional. Adapun tradisi Kore Metan memiliki fungsi sebagai ceremonial perpindahan yang mengantarkan keluarga menuju kehidupan sehari-hari usai periode berkabung.
Namun, modernisasi dan urbanisasi menjadi tantangan tersendiri dalam pelestarian ritual ini. Perubahan gaya hidup, perpindahan ke wilayah perkotaan, serta penetrasi budaya luar dapat mengurangi praktik ritual ini di kalangan muda. Walaupun begitu, eksistensi upacara tradisional ini sebagai ciri khas kultural membuatnya tetap bermakna dan pantas dilestarikan.
Bila diamati melalui kacamata psikologi masa kini, tradisi Lutu Metan menawarkan cara komprehensif untuk mendampingi pribadi dalam menghadapi fase kedukaan. Penetapan waktu yang terstruktur serta simbolisme dalam upacara penutupnya dapat dijadikan sebagai referensi dalam model terapi untuk konseling duka.
Selain daripada itu, makna persatuan dan kebersamaan yang terdapat dalam tradisi ini dapat menjadi solusi bagi komunitas kontemporer yang kian bersifat individual dan menghadapi isolasi sosial.
Lutu Metan sebagai warisan budaya mengungkapkan kebijaksanaan kolektif yang kaya nilai, baik dari aspek kerohanian, sosial, maupun konseptual. Tradisi ini bukan hanya acara seremonial, tetapi juga cara bagi masyarakat untuk memahami dan menerima peristiwa kehilangan.
Dalam arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan budaya, mempertahankan ritual seperti Lutu Metan menjadi krusial. Tradisi ini bukan hanya penting bagi jati diri budaya Timor-Leste, tapi juga menjadi bagian berharga yang menambah warna dalam keberagaman budaya dunia. Berdasarkan ritual tersebut, tampak jelas bahwa tiap-tiap komunitas memiliki pendekatan unik dalam menginterpretasikan kasih sayang, ajal, serta perpisahan.
Fr. Leonardo Soares Exposto, CMF
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira (UNIKA) Kupang